ILMU
BUDAYA DASAR
“Kyai
Ahmad Dahlan”
Oleh:
Dimas
Kukuh Prasangko
13114104
1KA08
Sistem
Informasi
Fakultas
Ilmu Komputer & Teknologi Informasi
Universitas
Gunadarma
Mei
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun karya tulis
ilmu budaya dasar ini dengan tepat waktu.
Tidak
lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah “Ilmu Budaya
Dasar” kami Ibu Auliya Ar Rahma yang telah membimbing saya dalam mata kuliah
yang bersangkutan.
Dalam
tugas ini saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Kyai Ahmad Dahlan”.
Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah ilmu budaya dasar.
Semoga karya tulis yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi saya dan semua
pihak yang telah membacanya.
Demikian
kata pengantar ini saya buat. Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat
jauh dari kata sempurna, untuk itu saya mohon maaf bila ada kesalahan kata
dalam pembuatan makalah ini maupun kata pengantar ini, juga saya meminta kritik
dan saran yang membangun agar dapat dibuatnya makalah yang lebih baik. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menambah cakrawala
pengetahuan kita.
Jakarta, 30
April 2015
Dimas Kukuh
Prasangko
13114104
BAB I
1.
Latar Belakang
Pendidikan
di Indonesia dewasa ini belumlah menjadi cita-cita ideal yang diharapkan oleh
seluruh masyarakat muslim, khususnya para pendidik dan pemerhati
pendidikan.Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditinjau dari aspek nilai
akademis dari suatu kegiatan ujian saja, tetapi lebih jauh hasil dari kegiatan
pendidikan haruslah mampu mengakomodasi
berbagai aspek dimensi kebutuhan masyarakat, terutama aspek moralitas
bangsa, sehingga tiap keluaran pendidikan lembaga in formal maupun non formal tidak
hanya memiliki kapabilitas pada keilmuan yang dituntutnya saja.Pendiikan tidak
boleh menghasilkan faham kekuasaan, berbau feodal, dan harus memperhatikan
aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai.
Banyak
dari pemikir Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Biruni, Ibn Khaldun,
Al-Ghazali dan lain sebagainya, telah memberikan contoh dalam pendidikan Islam
yang ideal. Ketika itu masa kejayaan Islam (abad ke 7 sampai ke 12 M), lembaga
perguruan tinggi Islam telah mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang
memiliki keseimbangan intelektual, ilmu pengetahuan, dan teknologi (IPTEK)
dengan etika dan moral (IMTAQ). Jadi, secara historis konsep pendidikan Islam
yang mengutamakan kepentingan duniawi dan ukhrawi sebenarnya telah
diaplikasikan kaum Muslim terdahulu.
Sistem
pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara pendidikan
Qalbiyah dan Aqliyah, sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar
secara Intelektual dan terpuji secara moral.
Dalam
upaya membangun kembali kejayaan Islam agar dapat menciptakan suatu peradaban
Islam di tengah dominasi politik, ekonomi, kultural, dan intelektual Barat,
maka hal dalam pendidikan seperti di perguruan tinggi, sekolah tinggi Islam
manapun perlu di tata kembali. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa secara
umum tingkat perkembangan perguruan tinggi Islam relatif hampir sama. Di
Indonesia misalnya, eksistensi perguruan tinggi Islam pada dasarnya tidak jauh
berbeda dari keadaan perguruan tinggi di negara-negara Islam lainnya. Fakultas
keagamaan di perguruan tinggi swasta, seperti yang didirikan NU dan
Muhammadiyah, secara institusional memiliki kemiripan dengan fakultas keagamaan
di Universitas Al-Azhar. Perbedaan yang utama adalah pada sisi orientasi dan
penekanan materi.
Dalam rangka menuju cita-cita
pendidikan Islam Indonesia yang ideal, penulis mencoba menawarkan pemikiran
yang telah awal ditawarkan oleh tokoh pendidik dan cenderung lebih dekat dengan
konsep pendidikan Islam, KH.Ahmad Dahlan, hal ini dimasksud untuk mencari
relevansi bagi solusi terhadap problematika pendidikan di Indonesia saat ini,
lebih fokus adalah untuk generasi muslim.
K.H.
Ahmad Dahlan merupakan tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Ahmad Dahlan mestinya lebih
banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Dengan usaha
beliau dibidang pendidikan, Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model"
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari
suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam.
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka timbul suatu pertanyaan. Yakni, Bagaimana pemikiran
KH. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan terutama filsafat pendidikan Islam di
Indonesia?, Apa relevansi filsafat pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dengan
problem pendidikan dewasa ini?, Bagaimana tinjauan kritis terhadap filsafat
pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan?
Sesungguhnya,
berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian
pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya
dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya
mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Berdasarkan
uraian jawaban di atas kita melihat bahwa membangun upaya dakwah (seruan kepada
ummat manusia) tersebut, maka Kyai Dahlan gigih membina angkatan muda untuk
turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk
meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini
dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat
Islam di Indonesia..
Munir
Mulkhan dalam bukunya Pesan dan Kisah K.H. Ahmad Dahlan Dalam Hikmah
Muhammadiyah mengingatkan “ bahwa kebiasaan manusia yang sering berkerja
berdasarkan hawa nafsu dan tidak mau belajar dari orang lain maka dari itu
manusia wajib menambah ilmu pengetahuan, dan wajib melaksanakan ilmu
pengetahuan utama yang telah dikuasai, tidak menjadikan pengetahuan hanya
sebagai pengetahuan semata.”
Filsafat
pendidikan Islam, merupakan bagian dari ajaran Islam mengenai pentingnya
pendidikan dikalangan umat. Kalau Islam itu agama yang benar yang baik yang
membawa kemuliaan dan kebahagiaan mengapa umat Islam sekarang pecah, lemah,
rendah, tidak memegang pimpinan di dunia khalifatul Allah yang maha adil?,
Allah berfirman: ”mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab
(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
Dari
tulisan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa setiap umat manusia memiliki kepedulian
terhadap pendidikan. Karena, ini merupakan bagian dari ajaran agama
Islam.Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :”Apakah kamu mengira,
bahwasanya kebanyakan mereka itu suka mendengar atau memikir-mikir mencari ilmu
yang benar?”. (al-Furqan: 44)
BAB II
1.
Biogarafi K.H
Ahmad Dahlan

Muhammad
Darwisy dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama
dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar
(puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia
merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan
seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, dan merupakan pelopor pertama dari
penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin
Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang
Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin
Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana
Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad
Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya
pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15
tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di
Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama,
yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih
bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran
Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena
itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam
kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Pada
usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan.
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah.
Sepulang
dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu,
KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga
pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan
Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin Pakualaman Yogyakarta.
2.
Dinamika
Pemikiran Intelektual K.H Ahmad Dahlan
Ahmad
Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak
merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena
menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui
filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan
tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi
adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap
kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap
kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan
dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi
bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada
petunjuk Allah swt.
Pribadi
Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat
dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan
Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam
sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai
suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan
"titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab
tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan
dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh
nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan
ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik
bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung
persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau
politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan
sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat
menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di
Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat)
pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk
mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita
pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang
mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim
yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan
dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu
pendidikan atau psikologi perkembangan.
A.
Peran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Filsafat
yang dianut dan diyakini oleh Ahmad Dahlan adalah berdasarkan agama Islam, maka
sebagai konsekuensinya logik, Ahmad Dahlan berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya.
Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang
akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat dan pendidikan Ahmad Dahlan tidak
dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam pada umumnya, karena yang dikerjakan
oleh Ahmad Dahlan pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut
Ahmad Dahlan menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena
itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Ahmad Dahlan perlu
menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para
pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Meskipun
tema pembaharuan pendidikan Ahmad Dahlan memperoleh perhatian yang cukup serius
dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada
satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan
yang dikembangkan oleh Ahmad Dahlan. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan
dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari
sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema
pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu
sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari
mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah
pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan
resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara
melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.
Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia
belum merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki
minat yang besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat
tertentu telah memberikan jalan lurus untuk perumusan satu filsafat pendidikan.
Sebagai
seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah. Dan atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
KH.
Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang
masih harus belajar dan berbuat.
Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam.
Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan.
B.
Gagasan Dasar K.H. Ahmad Dahlan
Pada
tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan
pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada
tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan
pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus
1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya
boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq,
Amanah, Tabligh, Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya
jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan
Islam.
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 2 September 1921.
C.
Tujuh Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan
Dalam
hal ini muridnya K.H. Ahmad Dahlan adalah KRH. Hadjid, beliau sangat tekun dan
menulis apa-apa yang dipaparkan gurunya, ia rangkum dalam sebuah tulisan tujuh
falsafah atau tujuh perkara pelajaran Ahmad Dahlan.Pelajaran pertama:
mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia itu semuanya mati.Pelajaran
kedua: mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan
diri-sendiri (individual).Pelajran ketiga: mempelajari tentang perkataan ulama
tentang akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan.Pelajaran keempat:
mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu
kebenaran.Pelajaran kelima: mempelajari tentang perkataan ulama tentang
penyucian diri.Pelajaran keenam: mempelajari tentang perkataan ulama tentang
ikhlas dalam memimpin.Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang perkataan ulama
tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau teori (belajar ilmu), dan
mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal). Dalam hal ini apabila sudah
mendengar, apa kita sudah melaksanakan dengan sungguh-sungguh.
D.
Orientasi Filosofi Pendidikan KH.Ahmad
Dahlan
Orientasi
filosofis pendidikan, pendidikan Islam Ahmad Dahlan, memerlukan kepekaan dalam
memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul
dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut:
1.
Mengusahakan nilai-nilai Islami dalam
pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral atau
masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu
2.
Mengusahakan peran pendidikan Islam
mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali
tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler
3.
Mengusahakan norma Islami mampu menjadi
pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi goncangan hidup dalam era
globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani
yang berkualitas
4.
Mengusahakan nilai-nilai islami dapat
menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan
umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa
5.
Mengusahakan sifat ambivalensi
pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan dikotomis.
3.
Analisa Konsep
Al-Hikmah Dalam Al-Qur’an
Filsafat
menurut bahasa, Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan
berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’,
dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia
yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan
disebut “Philosophos” atau “Failasuf” dalam ucapan Arabnya. Mencintai
pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan
hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada
pengetahuan.Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang
sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak
menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka, namun
pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut ‘Filsafat
Islam‘, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan.
Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam
tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang
problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah
memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan
dalam pemakaian istilah ‘ Filsafat Islam ‘ lebih banyak dipahami dalam
buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina.
Dengan
demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab
adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam
disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami
bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama
Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas
mengenai pokok-pokok keIslaman.
Hakekat
Filsafat Islam ialah ’Aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
’aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas
kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat
ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual,
sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan
otonomi penuh.Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural,
karena jika ’aqal dan al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan
adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara
satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik aqal mengatasi
al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal
maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut
otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa
aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran.
Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang
bersifat dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat
Quraniyah.Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, berupa
wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. ’Aqal sebagai subjek berfungsi
untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas
memecahan masalah yang diambil oleh ’aqal. Hubungan dialektika ’aqal dan
al-Quran bersifat fungsional.
BAB III
A.
Relevansi Dan
Kontekstualisasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Untuk Pendidikan Indonesia
Untuk
membangun upaya tarbiyah (pendidikan ummat manusia) tersebut, khususnya di
negara Indonesia ini. maka langkah awal yang digagas Dahlan adalah gigih
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya membangun
sistem pendidikan muda muhammadiyah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan
melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan
membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di
Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya
tentang gerakan pendidikan Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang pada saat itu dan
para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri
diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua
sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan
akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi
orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan
mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses
transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool
Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Dalam
kontes sekarang, nampaknya bentuk strategis yang dipilih oleh KH.Ahmad Dahlan
sangatlah relevan, dalam rangka mempercepat transformasi pengetahuan keagamaan
yang terintegrasi dalam berbagai kegiatan kehidupan harus menjiwai tiap
pendidik-pendidik muslim di berbagai jenis lembaga pendidikan.
B.
Kesimpulan
Filsafat
Pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan tidak terlepas dari peran dan amal usaha
yang ia terapkan kepada umatnya, dan juga gerakan yang didirikannya
Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18
Nopember 1912. ia bukan seorang pemikir Islam dan juga bukan seorang
intelektual. Tapi ia seorang tokoh dalam memerankan pendidikannya melalui
dakwah. Maka jarang sekali kita melihat karya Ahmad Dahlan. Bahkan para
murid-muridnya yang selalu mencatat apa yang beliau sampaikan. Seperti KRH,
Hadjid yang menulis tentang pelajaran Ahmad Dahlan mengenai 7 falsafah ajaran
& 17 kelompok ayat al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhamammadiyah,
Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan, 1990 hal. 46
Al-Syaibany,
Omar Mohammad Al-Toumy.. Terj. Hasan Langgulung. Falsafah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 1979
Bakker,
Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: KANISIUS.
Bakker,
Anton dan Achmad Charris Zubair., Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius 1990
Hadjid,
Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an,
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Malang Press. 2005. Hal. 9-10
Hadjid,.
Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an,
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah, Malang : Malang Press. 2005
Idi,
Abdullah dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
Indra
Djati Sidi , Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,
Jakarta: Paramadina:2001 hal. 23-24
Kartanegara,
Mulyadi, Gerbang Kearifan, Jakarta: Lentera Hati. 2006
M
Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya
(Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
M
Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya
(Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
Mulkhan,
Abdul Munir., Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan; dalam Hikmah Muhammadiyah,
Yogyakarta: suara muhammadiyah. 2007
Mulkhan,
Abdul Munir., Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhamammadiyah,
Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan. 1990
Munir
Mulkhan, Pesan dan Kisah K.H. Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Muhammadiyah,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007, hal. 203-204
Nizar,
Samsul., Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Histories, Teoritis dan Praktis,
Jakarta: Ciputat Press. 2002
Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang. 1979. hal. 7-9
Sidi,
Indra Djati., Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan.
Jakarta: Paramadina. 2003
Sucipto,
Hery, Menegakkan Indonesia; Pemikiran Dan Kontribusi 50 Tokoh Bangsa
Berpengaruh. Jakarta: Grafindo 2004
Tim
Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Malang,
Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya dan Universitas Muhammadiyah, Malang : Malang Press 1990.
Yusuf,
M. Yunan dan Piet Hizbullah Khaidir. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (naskah
awal), Jakarta: Dikdasmen PP. Muhammadiyah. 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar