TUGAS I
ILMU BUDAYA DASAR
“Agama dan Pandangan Hidup Orang Jawa”
Oleh:
Dimas Kukuh
Prasangko
13114104
1KA08
Sistem Informasi
Fakultas Ilmu
Komputer & Teknologi Informasi
Universitas
Gunadarma
April 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin Puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun karya tulis ilmu budaya dasar ini
dengan tepat waktu.
Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada
Dosen mata kuliah “Ilmu Budaya Dasar” kami Ibu Auliya Ar Rahma yang telah
membimbing saya dalam mata kuliah yang bersangkutan.
Dalam tugas ini saya dapat menyelesaikan karya tulis
dengan judul “Agama dan Pandangan Hidup Orang Jawa”. Tugas ini dibuat dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah ilmu budaya dasar. Semoga karya tulis yang
saya buat ini dapat bermanfaat bagi saya dan semua pihak yang telah membacanya.
Demikian kata pengantar ini saya buat. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu
saya mohon maaf bila ada kesalahan kata dalam pembuatan makalah ini maupun kata
pengantar ini, juga saya meminta kritik dan saran yang membangun agar dapat
dibuatnya makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca dan dapat menambah cakrawala pengetahuan kita.
Jakarta,
5 April 2015
Dimas
Kukuh Prasangko
1314104
Latar Belakang
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol,
dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau
menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka
tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum
agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar
4.200 agama di dunia.
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir
perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau
keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat
mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi,
pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan,
meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari
budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi. Dalam setiap
perkembangan suatu agama di suatu daerah, sudah dipastikan Agama tersebut akan
berakulturasi dengan kebudayaan daerah tersebut. Salah satunya adalah budaya
Jawa. Hasil akulturasi tersebut menyebabkan adanya istilah agama Jawa atau
”Kejawen”.
Pembahasan
Kata
“Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa
Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan
kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Kejawen merupakan Agama dan pandangan hidup
orang Jawa. Istilah Kejawen merujuk pada seperangkat tataaturan hidup yang
diyakini oleh masyarakat Jawa, baik sebagai agama maupun sebatas nilai-nilai
pandangan hidup dalam bingkai tradisi. Sebagai agama, Kejawen dianggap sebagai
agama lokal yang dianut leluhur Tanah Jawa, jauh sebelum kedatangan agama-agama
baru, seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Sebagai pandangan hidup dalam
bingkai tradisi, praktik-praktik Kejawen banyak ditempuh orang-orang Jawa dalam
agama-agama baru yang mereka anut.
Dalam
konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu
terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen
sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak
arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama dimana semua agama yang dianut
oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen
dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta
filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau
spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa
(Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Penganut
ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam
pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih
melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi
dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya
tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep
"keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak
pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara
rutin.
Simbol-simbol
"laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang,
pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik,
dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga
banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah
memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal
tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran
kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama
pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini
sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara
pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Tidak
seperti konsep Islam, Kristen, dan agama pada umumnya yang cenderung baku,
Kejawen mewakili bermacam pandangan dan praktik-praktik spiritual, yang
biasanya memiliki kesamaan, terutama dalam bahasa pengantar, yakni bahasa Jawa,
dan penggunaan simbol-simbol yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa,
seperti keris, wayang, gamelan, pembacaan mantera, dan lain-lain. Kesamaan lain
dalam konsep Kejawen adalah keyakinan terhadap ke-esa-an Sang Pencipta dan
nilai-nilai keseimbangan hidup serta keluhuran budi yang menjadi dasar dan
tujuan dari dari ajaran tersebut.
Bagi
yang menganggap Kejawen lebih jauh sebagai agama, dua ritual ibdah yang paling
umum dilakukan adalah tapa (topo) dan puasa (poso). Berikut adalah beberapa
jenis tapa atau meditasi yang umum dikenal di kalangan pemeluk Kejawen:
1.
Topo Jejeg,
tidak duduk selama 12 jam.
2.
Topo Lelono,
melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 pagi (waktu
ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
3.
Topo Kungkum,
masuk kedalam air sungai tanpa pakaian selembar pun, duduk dengan posisi
bersila di dalam air, dengan kedalaman setinggi leher. Biasanya di pertemuan
dua buah sungai, menghadang arus. Namun demikian diperbolehkan memilih tempat
yang baik, yang arusnya tidak terlalu deras serta tidak berlumpur. Lingkungan
harus sepi, dan diusahakan tidak ada orang lain di tempat tersebut.
Dilaksanakan mulai jam 12 malam (jam 10 keatas) sampai kurang lebih tiga jam
(beberapa orang hanya 15 menit). Selama melakukan Topo Kungkum, tidak boleh
tertidur dan tidak boleh banyak bergerak. Disarankan mandi terlebih dahulu
sebelum melakukan ritual ini. Do’a sesaat sebelum masuk sungai: “Putih-putih
mripatku, ireng-ireng mripatku, telenging mripatku, semua krana Gusti.” Pada
saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada serta nafas
teratur. Kungkum dilakukan selama 7 malam.
4.
Topo Ngalong,
yaitu bertindak seperti kalong (kelelawar besar) dengan posisi tubuh kepala
dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu, tapa ini dilakukan
dengan kaki yang menggantung di dahan pohon, dan posisi kepala di bawah. Pada
saat menggantung dilarang banyak bergerak. Biasanya puasa ini dibarengi dengan
puasa ngrowot.
5.
Topo Ngeluwang,
adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam, dan membutuhkan keberanian
yang sangat besar. Topo Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan
daya penglihatan ghaib dan menghilangkan sesuatu. Topo Ngeluwang adalah topo dengan
dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang
selesai dari topo ini biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang
mengerikan (seperti arwah, jin dan sebagainya). Sebelum masuk dikubur,
disarankan membaca doa: “Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro
mara siro mati, kang ganggu marang jiwa ingsun, lebur kaya dene banyu krana
Gusti.”
Sementara ritual-ritual
puasa yang umum dilakukan para pemeluk kejawen, di antaranya adalah:
1.
Poso Mutih,
yaitu tidak boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja.
Nasi putihnya pun tidak boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dan
lain-lain). Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa
harus mandi keramas dahulu, dan membaca do’a: “Niat ingsun mutih, mutihaken
awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir, kabeh krana Gusti.”
2.
Poso Ngeruh,
yaitu hanya boleh makan sayuran/buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan
daging, ikan, telur dan sebagainya.
3.
Poso Ngebleng,
adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang
menjalani Poso Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau
melakukan aktivitas seksual. Waktu tidur pun harus dikurangi. Biasanya
seseorang yang melakukan Poso Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama
sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu
lampu atau cahaya pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus
gelap-gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakukan puasa ini diperbolehkan
keluar kamar hanya untuk buang air saja.
4.
Poso Patigeni,
hampir sama dengan Poso Ngebleng. Perbedaannya adalah, tidak boleh keluar kamar
dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini
dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dan
seterusnya. Jika seseorang yang melakukan Poso Patigeni ingin buang air, maka
harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya).
Do’anya : “Niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni
genine napsu angkara murka krana Gusti”.
5.
Poso Ngelowong,
lebih mudah dibanding puasa-puasa di atas. Seseorang yang melakukan Poso
Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya
diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
6.
Poso Ngrowot,
adalah puasa yang lengkap dilakukan dari jam 3 pagi sampai jam 6 sore. Saat
sahur seseorang yang melakukan Poso Ngrowot ini, hanya boleh makan buah-buahan
saja. Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu, tetapi hanya boleh satu
jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan
untuk tidur.
7.
Poso Nganyep,
adalah puasa yang hanya memperbolehkan makan yang tidak ada rasanya. Hampir
sama dengan Poso Mutih, perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan
ketentuan tidak mempunyai rasa.
8.
Poso Ngidang,
hanya diperbolehkan memakan dedaunan dan air putih saja. Selain daripada itu
tidak diperbolehkan.
9.
Poso Ngepel,
mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja.
Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
10. Poso Ngasrep, hanya diperbolehkan makan dan minum
yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja dalam sehari.
11. Poso Senin-Kemis, puasa yang dilakukan setiap hari
Senin dan Kamis saja seperti namanya. Dari jam 3 pagi sampai jam 18.
12. Poso Wungon, adalah puasa pamungkas, tidak boleh
makan, minum dan tidur selama 24 jam.
Kejawen
tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang
dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai
ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun
karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran
yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang
Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji),
hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut :
1.
Kakawin (Sastra
Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat)
berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab,
ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
2.
Babad
(Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara
berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa
Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
3.
Serat (Sastra
Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat)
berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82
kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis
menggunakan Huruf Pegon
4.
Suluk (Jalan
Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk
membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami
kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35
kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis
menggunakan Huruf Pegon
5.
Kidungan
(Do'a-Do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada
khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya
masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan
Bahasa Jawa
6.
Primbon
(Ramalan-Ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk
memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
7.
Piwulang
Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan
Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan
Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
Naskah-naskah
diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai
kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan
naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya
tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan),
dan sebagainya.
Kesimpulan
Kejawen
adalah salah satu kebudayaan bangsa
Indonesia. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa",
yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang
berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Kejawen
merupakan Agama dan pandangan hidup orang Jawa.
Kejawen
dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta
filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau
spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa
(Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Tidak
seperti konsep agama pada umumnya yang cenderung baku, Kejawen mewakili bermacam
pandangan dan praktik-praktik spiritual, yang biasanya memiliki kesamaan,
terutama dalam bahasa pengantar, yakni bahasa Jawa, dan penggunaan
simbol-simbol yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa, seperti keris,
wayang, gamelan, pembacaan mantera, dan lain-lain. Kesamaan lain dalam konsep
Kejawen adalah keyakinan terhadap ke-esa-an Sang Pencipta dan nilai-nilai
keseimbangan hidup serta keluhuran budi yang menjadi dasar dan tujuan dari dari
ajaran tersebut.
Tinjauan
Kejawen
adalah pandangan hidup bagi masyarakat jawa. Kalau dilihat dari segi agama,
banyak yang menganggap bahwa kejawen adalah termasuk dalam islam padahal tidak,
kejawen ini termasuk kedalam penyelewengan ajaran islam karena banyak sekali
diterapkan bid’ah-bid’ah. Namun jika dilihat dari segi budaya, kejawen adalah
kebudayaan bangsa Indonesia yang dianut atau dipercaya sebagai pandangan hidup
orang Jawa. Maka bangsa Indonesia harus melestarikan budaya kejawen tersebut.
Dengan cara menghormati perbedaan ajaran, aturan kejawen selayaknya kita
menghormati ajaran agama lainnya seperti Islam, Kristen, Hindu, dll.
Bagi
saya ajaran kejawen ini cukup menarik karena ajarannya mirip dengan agama
Islam. Namun apabila ditelusuri lebih dalam akan terlihat perbedaan yang sangat
mencolok. Terlebih lagi kejawen ini tidak dianggap sebagai agama layaknya
kebanyakan agama seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi
lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang
dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah").
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar